Di Blitar, Jawa Timur, Agoes
Poernomo memanfaatkan getaran dari kereta api yang melintas di dekat lokasi
kumbung dan alunan musik. Kombinasi kedua cara itu meningkatkan produksi jamur
hingga 4%.
Ide nyeleneh itu terinspirasi
kebiasaan waktu kecil. ‘Kata orangtua kalau ada jamur tumbuh di musim hujan,
injak tanah di sekitar tumbuh jamur sekeras-kerasnya beberapa kali. Keesokan
hari biasanya muncul jamur-jamur baru,’ kata Agoes. Agoes memanfaatkan getaran
dari kereta api dan musik untuk merontokkan basidiospora yang terdapat pada
lamela di bagian bawah tudung jamur.
Basidiospora yang jatuh di permukaan
baglog akan berkecambah membentuk miselium monokariotik alias miselium berinti
satu. Miselium itu terus tumbuh hingga membentuk jalinan hifa mirip benang.
Hifa itu akan menyatu dengan hifa lain yang kompatibel membentuk hifa
dikariotik. Bila kondisi lingkungan memungkinkan (suhu antara 10 - 20oC,
kelembapan 85 - 90%, cahaya cukup, dan kadar C02 <1.000 ppm),
akan terbentuk tubuh buah.
Menurut Ir NS Adiyuwono, praktikus
jamur tiram di Bandung, Jawa Barat, pemanfaatan getaran atau goncangan untuk
mendongkrak produksi jamur sudah diterapkan pekebun di Singapura disebut dengan
teknologi shifting. Mereka memindahkan baglog setiap hari. Saat pemindahan itu
baglog ikut tergoncang sehingga banyak spora jatuh. Cara itu diadopsi para
pekebun tiram di Majalengka, Jawa Barat. Hasil pengamatan Adiyuwono, cara itu
mempercepat munculnya tubuh buah 2 hari.
semoga bermanfaat........
0 komentar:
Posting Komentar